
BANTEN, HI - Keenggan Ketua Komisi Pengaduan dan
Penegakan Etika Pers, Yadi Hendriana dari Dewan Pers membuktikan bahwa
sengkarut masalah Pers di Indonesia benar tidak saja mengalami masalah
dari luar semata, tapi juga berasal dari dalam lingkungan pers itu sendiri,
mulai dari organisasi pers dan Dewan Pers dan insan pers, 21 Juli 2022 .
Setidaknya pernyataan Yadi Hendriana yang menduduki jabatan penting di Dewan
Pers, justru tak hanya membuat blunder yang memalukan untuk takaran kualitas
Dewan Pers itu sendiri, tetapi juga justru menunjukkan kepongahannya dengan
tidak segera mencabut -- kalau pun masih malu untuk meminta maaf -- atas
keculasannya yang mengharuskan agar awak media hanya membuat berita yang
bersumber dari keterangan resmi pihak kepolisian dan Mabes Polri, terkait
dengan masalah "Polisi Menembak Polisi" yang menyedot perhatian
publik di seantero jagat.
Harapan terhadap sikap ugahari Yadi Hendriana untuk mencabut pemberitaan itu --
selaku jurnalis senior, setidaknya karena telah menduduki posisi yang gagah di
Dewan Pers, amat sangat diharap hendak dicabut -- secara terbuka dan gentel
supaya kesan sikap hipokrit -- kalau tak elok disebut kedunguan itu menular
kepada jurnalis muda kita yang belum cukup imun terhadap penyakit serupa itu.
Kesan hipokrit dari pernyataan Yadi Hendriana sebagai pejabat paling bergengsi
di Dewan Pers itu mengingatkan pada catatan penting Wartawan Senior Muchtar
Lubis dahulu yang jijik terhadap para penjual yang selalu memanfaatkan
kesempatan dalam kesempitan untuk mencari keuntungan.
Inilah inti dari keberatan saya agar pernyataan Yadi Hendriana itu dapat
segera diklarifikasikan dengan baik, dengan cara yang santun dan elegan
mau memaparkan "Ajakan Yadi Hendriana Selaku Ketua Dewan Pers yang justru
membawahi bidang yang sangat vital, yaitu Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan
Etika Pers di institusi yang sangat terhormat itu, sebagai kekeliruan dan
memohon maaf.
Adapun sikap keberatan agar pernyataan itu dapat segera dianulir,
supaya tidak menjadi preseden buruk bagi insan pers dalam melakukan tugas dan
fungsinya yang sangat mulia untuk memberi informasi yang luas dan lengkap serta
cukup berimbang dari berbagai nara sumber yang dianggap penting dan perlu guna
akuraritas dari pemberitaan yang hendak disajikan kepada publik. Termasuk ceck
and receck pada berbagai pihak.
Hingga nyaris sampai sepekan pernyataan itu masih juga tidak digubris atau
diralat, sehingga kesan yang muncul adalah kepongahan, keangkuhan yang
justru tidak punya Etika. Hingga muncul ulasan yang lebih kuat menonjok
dari Saudara Muslim yang telak menghardik (Baca RMOL, 2022/07/17) tentang
Perlindungan Kemerdekaan Pers yang menjadi beban berat Ketua Dewan Pers, Prof.
Azyumardi Azra yang baru seumur jagung menduduki posisinya sebagai Ketua Dewan
Pers.
Begitulah masalah internal yang harus dihadapi pula oleh organisasi pers
masalah internal di Dewan Pers yang perlu segera ditetapkan juga. Seandainya
tidak cukup etis untuk menyingkirkan mereka yang menjadi benalu atau penghalang
langkah maju Dewan Pers yang diganti banyak oleh insan pers di tanah air.
Setidaknya dalam ulasan Muslim itu jelas dan terang menyebut adanya
masalah internal Dewan Pers yang telah mengeluarkan fatwa liar yang keliru,
karena menyerukan kepada wartawan agar hanya menyiarkan berita terkait kasus
"Polisi Menembak Polisi" hanya dari sumber resmi.
Fatwa yang dimaksudkan oleh Muslim adalah pernyataan Yadi Hendriana culas
mengatakan juga terkesan dungu, karena informasi resmi dari pihak Kepolisian
yang digugat oleh masyarakat justru keseimbangan pada sumber berita. "Ini
jelas ngawur dan blunder", kata Muslim dalam pemaparannya itu.
Karena
dalam UU Pers maupun Kode Etik Jurnalistik tidak ada pasal yang membenarkan
fatwa yang ngaco itu. Malahan UU Pers menyediakan ancaman hukuman bagi pihak
yang menghalang-halangi Pers, tindak penyebaran apalagi pembredelan
semacam yang pernah menjadi mode pada jaman Orde Baru. Meski tidak juga ada
klarifikasi atau ralat terhadap pernyataan culas Yadi Hendriana itu,
namun Ketua Dewan Pers langsung membuat joint statemen dengan Ketua DK- PWI,
kata Muslim.
Isinya justru mendorong seluruh wartawan melakukan investasi
reporting untuk meningkatkan fakta peristiwa dan duduk perkara kasus yang
menjadi sorotan masyarakat saat ini. Meski Dewan Pers pun tidak melakukan
klarifikasi atas fatwa pengurusnya yang culas itu.
Menurut Muslim, fatwa yang dibuat Yadi Hendriana itu lupa pada sikap Kapolri
sendiri yang pernah membuka akses untuk pihak di luar institusinya untuk
menyelidiki tuntas kasus "Polisi Menembak Polisi" yang telah
mencederai citra Polisi yang juga merupakan citra dari lembaga negara ini.
Pembiaran dari Dewan Pers sendiri terhadap pernyataan Ketua Komisi Pengaduan
dan Penegakan Etika Pers justru tidak segera pula diralat atau dicabut pada
konferensi pers Dewan Pers. Sebab pernyataan konyol itu akan membuat citra
Dewan Pers Tidak bagus. Karena pernyataan itu akan menjadi dokumen
pembanding, bahkan bisa disalah gunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk
mengintimidasi insan pers yang dominan berada di daerah.
Karena sikap membebek
seperti itu, tidak boleh menjadi watak insan pers Indonesia yang teguh dan taat
pada Pancasila dan UUD 1945. Terutama pada mukadimah dari sumber hukum bagi
bangsa dan negara Indonesia.
Penulis : Yacob Ereste - HI
(Pemerhati Pers)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar