
TAJUK HARIAN INDONESIA, (03/11/2023) -
Drama Korea berjudul “πβπ πππππ ππ π‘βπ πππππππ”
menyuguhkan cerita perselingkuhan yang begitu ciamik bin rumit, namun
mampu menguras atensi penontonnya. Sebuah kisah dengan alur cerita
penghianatan tumbuh subur di pusaran pertemanan dan pasangan, yang
secara tidak langsung telah memakan korban, dimana peran protagonis
selalu dijadikan mangsa paling empuk untuk obyek yang akan disingkirkan.
Biasanya hubungan semacam itu acap di sebut sebagai
“π‘ππ₯ππ πππππ‘ππππ βππ,” sebuah jalinan yang memiliki
unsur negatif, serta menyebabkan rusaknya kenyamanan salah satu atau
beberapa pihak yang masuk ke dalam circle tersebut. Ikatan hubungan
“π‘ππ₯ππ πππππ‘ππππ βππ” memiliki racun mematikan, yang
mampu membinasakan kehormatan seseorang melalui cara-cara tertentu,
sesuai dengan tujuan yang hendak mereka capai.
Hubungan seperti
ini tidaklah sehat jika dibiarkan dan berlangsung secara terus-menerus,
karena akan merusak kenyamanan siapapun yang terlibat dalam suatu
hubungan sakit tersebut.
Tayangan toxic relationship sejatinya
dibuat bukan hanya untuk hiburan masyarakat semata, melainkan agar kita
yang hidup ditengah-tengah ratusan juta populasi manusia bisa menjaga
dan membentengi diri supaya tak terjerat dengan hubungan toxic. Sebab
toxic relationship tak memandang usia, kalangan, jabatan, dan lain
sebagainya. Bahkan Presiden sekalipun bisa terjaring hubungan toxic.
Sadar
atau tidak sadar, sebenarnya Presiden RI ke 7 kita saat ini tengah
terjebak di lingkungan pertemanan toxic. Mengapa? Karena Jokowi yang
dulu bukanlah Jokowi yang sekarang. Kita bisa menyandingkan sikap Jokowi
di masa lalu dan saat ini, dimana perubahan karakter Jokowi sangatlah
kentara, meski di lihat menggunakan mata telanjang sekalipun.
Jokowi
yang saya kenal dulu adalah Jokowi yang sama sekali tak tertarik untuk
melirik jabatan. Jangankan melirik, terbesit dalam pikiran untuk
berkuasa saja tak pernah muncul dalam benaknya.
Jokowi yang dulu
adalah Jokowi yang tulus melayani dengan sepenuh hati, serta pro dengan
rakyat kecil. Sebab ia tahu bagaimana sulit dan kepayahannya hidup wong
cilik, karena Jokowi sendiri juga telah merasakan getirnya kehidupan
menjadi rakyat jelata.
Itulah mengapa waktu itu rakyat sangat
simpati dengannya, dan memutuskan untuk memilihnya saat Pemilu, yang
kala itu juga ada Prabowo Subianto sebagai rivalnya. Di sisi lain,
bulatnya keputusan rakyat memilih Jokowi di luar pembawaan karakter
bersahajanya, mayoritas rakyat Indonesia pastinya tak ingin membangunkan
kebengisan Orde baru dengan memilih Prabowo.
Tetanggaku pernah
berkata, “πππ ππππππ€π ππππ ππππ ππππ ππππππ,
πππ π‘π πΌππππππ ππ ππππ πππ¦π πππππ ππππ
ππππβ.” (Kalo Prabowo yang jadi Presiden mengerikan, pasti Indonesia
akan jadi seperti Orba lagi).
Maka tak ayal jika Pilpres
periode 2014-2019 di menangkan telak oleh Jokowi, karena ketakutan
rakyat yang membumbung dan tak ingin membangkitkan keburukan itu bangun
dari hibernasi panjangnya.
Pun sama dengan Pilpres selanjutnya,
dimana Jokowi lagi-lagi memenangkan kontestasi tersebut. Karena
masyarakat Indonesia masih berusaha mencegah kekuatan Orba bangkit agar
tidak kembali merenggut kebebasan berdemokrasi. Masyarakat masih waras
dengan akal sehat serta nuraninya.
Namun siapa sangka jika
keleluasaan hati Jokowi begitu besar, sampai membuat masyarakat semakin
sayang padanya. Jokowi dengan senang hati menunjuk serta mempersilahkan
Prabowo mantan rivalnya untuk duduk di dalam kabinet selama masa
pemerintahan dua periodenya habis. Dan di situ lah awal kehancuran
seorang Jokowi, yang telah merawat serta menjaga legasi yang selama ini
dibangunnya agar tetap bersinar.
Lingkungan Jokowi yang
sebelumnya bersih tanpa terpapar bau-bau kehausan akan godaan kuasa,
seketika keruh saat Prabowo masuk dalam lingkup pemerintahan sang
Presiden.
Mungkin jika kita tarik kebelakang, masyarkat akan
kembali mengingat bagaimana panasnya situasi politik di Pilpres 2014 dan
2019. Banyak HOAX, isu-isu PKI yang terus digoreng dan diproduksi guna
menjatuhkan Jokowi massif di gulirkan. Dan itu asalnya dari kubu
Prabowo.
Buktinya, La Nyalla Mattalitti yang sempat menjadi
pendukung garis keras Prabowo mengakui perbuatannya karena telah ikut
serta menyebarkan “ππππ π
πππ¦ππ‘,” salah satu tabloid yang kerap
menghajar lewat isu dusta dan hanya berisikan fitnah yang tertuju pada
Jokowi. Bahkan tanpa malu-malu Prabowo menyebarkan kekalutan bin
ketakutan masyarakat lewat kelakarnya bahwa tahun 2030 Indonesia akan
bubar.
Nah sandingkan saja dengan Prabowo yang sekarang.
Menurutmu apakah Prabowo sudah berubah dari sikap anarkisnya itu? Kok
aku masih ragu ya. Karena bayangkan saja menggunakan akal dan logika
sehat, sekelas Prabowo yang sudah berpuluh-puluh tahun mendalami dan
menjiwai karakter buasnya, seketika bisa jinak dalam hitungan tahun
selepas masuk dalam kabinet Jokowi?
Come on, realistis kawan.
Sejatinya “π€ππ‘ππ πππ π€ππ‘π’π (πππ‘π’π) ππ‘π’ ππππ,"
jangan di sama ratakan. Watuk bisa sembuh jika di obati, tapi watak
sampai mati pun tak akan bisa tercerabut dari akarnya dan hilang begitu
saja.
Jujur saya cukup takjub dengan kemampuan bunglon ala
Prabowo, yang pandai beradaptasi dengan lingkungan barunya untuk
menyebarkan ke-toxic’an di rumah lawan yang kini berubah menjadi kawan.
Kawan barunya itu Prabowo susupi lewat kepiawaian bermain toxicnya.
Melalui
wacana duet Prabowo-Gibran yang awalnya di tolak mentah-mentah oleh
Jokowi. Namun pelan tapi pasti, rayuan maut Prabowo berhasil memecahkan
kepala batu Jokowi. Hingga akhirnya sang Presiden memberikan restu serta
mendukung putranya yang masih belum mekar itu untuk berlaga bersama
Prabowo.
Meskipun sang sulung belum cukup usia, tak mengapa jika
harus menggunakan jalan tikus demi mendorong Gibran maju nyawapres.
Mengotak-atik dan mengakali konstitusi lah solusinya, agar suami Selvi
Ananda tersebut bisa dengan mulus dan lancar untuk nyalon wapres.
Jokowi
dan kawannya yang toxic saat ini sedang berkumpul, merenungkan cara dan
strategi demi kemenangan Gibran, yang digadang-gadang menjadi pemimpin
paling peduli terhadap anak muda, hingga membanding-bandingkannya dengan
Jendral Sudirman.
Begitulah toxic relationship dalam pusaran
Jokowi saat ini. Sang Presiden yang awalnya bersahaja dan berusaha
membela rakyat kecil dengan menghadirkan keadilan, justru terlibat dalam
pertemanan tidak sehat yang bisa mencoreng nama baiknya lantaran cap
nepotisme akan melekat dalam benaknya.
Semoga kita tetap waras
dan cerdas dalam menjalin suatu hubungan, entah pasangan maupun
pertemanan. Jangan biarkan ke-toxic’an dalam hubungan itu membelenggu
kita dan menjerumuskan pada lubang kehancuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar